Bagai Disayap Dengan Sembilu
Kemarin dikasih tugas sama guru Bahasa Indonesia bikin karangan bebas, dengan syarat judul harus dari peribahasa. Setelah googling peribahasa gitu, akhirnya aku pilih peribahasa "Bagai disayap dengan sembilu" yang artinya rasa hati yang sangat pedih. Waktu bikin ini, guruku nanyain, "Judulnya apa mbak?" aku jawab, "bagai disayap dengan sembilu pak" bapaknya "wah galau galau ini," kemudian nyengir -___-
Berhubung baru belajar nulis jadi masih acakadut bahasanya. Kalau kata kakak kelasku sih diksinya ada yang kurang tepat gitu. Yaudah sih ya, namanya juga baru belajar. Ini dia karangannya~
Bagai
Disayap Dengan Sembilu
Lukisan
mentari yang mulai memudar di cakrawala senja ini begitu memukau. Pudarnya
diiringi udara dingin yang terasa hingga ke tulang. Tapi kaki ini tetap
melangkah. Entahlah, seperti ada yang mendorongku untuk tetap melangkah. Hingga
sebuah siluet pohon kamboja besar menghentikan langkah ini. Bunga-bunga
kuningnya banyak tergeletak di tanah. Masih segar, mungkin baru saja jatuh.
Terdengar
suara gemericik air. Membuat rasa yang tlah lama ingin kulupakan meluap
kembali. Rindu yang selalu buat hati ini sedih. Rindu akan dirinya, seseorang
yang tlah tinggalkan diri ini sendiri. Kenangan akan dirinya masih melekat
dalam benak ini. Begitu lekat, hingga sukar kulupakan. Mungkin juga karena
memang tak ada niat tulus untuk melupakannya, dirinya begitu membekas dihati
ini.
Batu
besar di pinggir sungai ini dulu slalu jadi tempat bersandarku dengannya.
Bahkan hingga saat ini, batu ini masih menopangku, hanya diriku, tanpa dirinya
yang sudah pergi. Dulu, tawa cerianya selalu menggema di tempat ini, tapi kini
hanya kesunyian yang temani diriku. Rasanya berbeda. Pedih. Bagai disayap
dengan sembilu, kau tahu?
“Kalau
aku sudah sembuh, janji, ajak aku ke tempat ini lagi,” ujarnya lemah dengan
senyum yang dipaksakan.
“Pasti,
sebentar lagi kamu pasti sembuh,” kubelai rambutnya lembut. Kegelisahan
menyelinap dalam relung hati ini. Firasat akan sesuatu yag buruk kurasakan.
Cahaya
mentari tlah benar-benar pudar sore itu, angin berhembus semakin dingin. Ku
dorong kursi rodanya kembali ke rumah sakit. Itu, saat terakhir kami kunjungi
tempat ini. Saat terakhir dirinya mengukir senyum untukku yang terlihat begitu
dipaksakan.
Pagi
itu mendung. Kegelisahan kembali menyelimutiku. Mimpi buruk tentang dirinya
menghantuiku semalam. Kegelisahan ini semakin membuncah kala papanya menelponku.
Dia kritis. Rasanya seperti dihantam ombak. Sayangnya diri ini tak setegar
karang di tepi laut. Jiwa ini begitu rapuh. Seperti kapur yang dijatuhkan,
patah seketika.
Sore itu, sore paling memilukan yang kurasa. Tak
kulihat dirinya dalam balutan dress biru kesukaanya. Yang kulihat, tubuhnya
terbujur kaku terbalut kafan putih. Hingga bunga-bunga ditabur diatas makamnya,
diri ini masih tak percaya akan kenyataan ini. “Kenapa Kau mengambilnya secepat
ini, Tuhan?” batinku berteriak. Gerimis, seolah bumi ikut bersedih atas
kepergian dirinya, dirinya yang begitu kusayang.
Kamboja,
kurengkuh bunga kuning itu. Dulu bunga ini selalu kujadikan hiasan dirambutnya.
Masih terekam jelas, ia tiduran di bawah pohon ini.
“Kalau
hujan disaat hari cerah, itu berarti aku menangis karena sedih,” ujarnya.
“Dasar
gadis pemimpi! Itu fox rain, kamu bukan Gumiho di drama Korea My Girlfriend Is
Gumiho itu, lagian, aku nggak mau punya pacar Gumiho, hiiiih,” kuacak-acak
rambutnya. Tawa renyahnya menggema.
“Kalau
gitu aku buat cerita lain,” dirinya menggumam tak jelas. “Kalau kamu merasakan
angin, padahal sebelumnya tak ada angin, itu tandanya aku rindu padamu,” ia
menoleh ke arahku.
“Kalau
rindu, katakan saja, sms atau telpon aku, aku pasti langsung datang menemuimu,”
ujarku.
“Andai
aku bisa, pasti kulakukan,” tatapannya penuh arti. Entahlah, tiba-tiba
perasaanku jadi tak enak.
Semua
kenangan dengannya di tempat ini masih jelas kuingat. Kerinduan ini semakin
menjadi-jadi. Membuat pedih kembali kurasa.
“Aku
rindu,” ucapku membelah kesunyian.
Tubuh
ini bergetar, tiba-tiba angin dingin datang membelaiku. Satu bunga kamboja
terjatuh tepat diatas kepalaku.
“Aku
merasakannya, rindumu tersampaikan padaku,” senyumku terukir. “Bahagialah di
sana, tunggu aku datang menemuimu dan rasa pedih ini akan hilang,”
“Sayang
yang tulus tak terikat dimensi ruang dan waktu, seperti sayang ini yang kan
selalu mengalir untukmu meski alam kita tlah berbeda.”
Kamis, 10 Mei 2012
07:40 - 08:45
2 comments
cerita? bukan. puisi? wagu. apa ya? ini penuh kegalauan! :3
ReplyDeletebukan puisi -____- puisi darimananyaaa, emang -__-
ReplyDeletemari berkicauuu...~