Bagai Disayap Dengan Sembilu

by - May 11, 2012

Kemarin dikasih tugas sama guru Bahasa Indonesia bikin karangan bebas, dengan syarat judul harus dari peribahasa. Setelah googling peribahasa gitu, akhirnya aku pilih peribahasa "Bagai disayap dengan sembilu" yang artinya rasa hati yang sangat pedih. Waktu bikin ini, guruku nanyain, "Judulnya apa mbak?" aku jawab, "bagai disayap dengan sembilu pak" bapaknya "wah galau galau ini," kemudian nyengir -___-

Berhubung baru belajar nulis jadi masih acakadut bahasanya. Kalau kata kakak kelasku sih diksinya ada yang kurang tepat gitu. Yaudah sih ya, namanya juga baru belajar. Ini dia karangannya~

Bagai Disayap Dengan Sembilu

Lukisan mentari yang mulai memudar di cakrawala senja ini begitu memukau. Pudarnya diiringi udara dingin yang terasa hingga ke tulang. Tapi kaki ini tetap melangkah. Entahlah, seperti ada yang mendorongku untuk tetap melangkah. Hingga sebuah siluet pohon kamboja besar menghentikan langkah ini. Bunga-bunga kuningnya banyak tergeletak di tanah. Masih segar, mungkin baru saja jatuh.



Terdengar suara gemericik air. Membuat rasa yang tlah lama ingin kulupakan meluap kembali. Rindu yang selalu buat hati ini sedih. Rindu akan dirinya, seseorang yang tlah tinggalkan diri ini sendiri. Kenangan akan dirinya masih melekat dalam benak ini. Begitu lekat, hingga sukar kulupakan. Mungkin juga karena memang tak ada niat tulus untuk melupakannya, dirinya begitu membekas dihati ini.

Batu besar di pinggir sungai ini dulu slalu jadi tempat bersandarku dengannya. Bahkan hingga saat ini, batu ini masih menopangku, hanya diriku, tanpa dirinya yang sudah pergi. Dulu, tawa cerianya selalu menggema di tempat ini, tapi kini hanya kesunyian yang temani diriku. Rasanya berbeda. Pedih. Bagai disayap dengan sembilu, kau tahu?

“Kalau aku sudah sembuh, janji, ajak aku ke tempat ini lagi,” ujarnya lemah dengan senyum yang dipaksakan.

“Pasti, sebentar lagi kamu pasti sembuh,” kubelai rambutnya lembut. Kegelisahan menyelinap dalam relung hati ini. Firasat akan sesuatu yag buruk kurasakan.

Cahaya mentari tlah benar-benar pudar sore itu, angin berhembus semakin dingin. Ku dorong kursi rodanya kembali ke rumah sakit. Itu, saat terakhir kami kunjungi tempat ini. Saat terakhir dirinya mengukir senyum untukku yang terlihat begitu dipaksakan.

Pagi itu mendung. Kegelisahan kembali menyelimutiku. Mimpi buruk tentang dirinya menghantuiku semalam. Kegelisahan ini semakin membuncah kala papanya menelponku. Dia kritis. Rasanya seperti dihantam ombak. Sayangnya diri ini tak setegar karang di tepi laut. Jiwa ini begitu rapuh. Seperti kapur yang dijatuhkan, patah seketika.

Sore itu, sore paling memilukan yang kurasa. Tak kulihat dirinya dalam balutan dress biru kesukaanya. Yang kulihat, tubuhnya terbujur kaku terbalut kafan putih. Hingga bunga-bunga ditabur diatas makamnya, diri ini masih tak percaya akan kenyataan ini. “Kenapa Kau mengambilnya secepat ini, Tuhan?” batinku berteriak. Gerimis, seolah bumi ikut bersedih atas kepergian dirinya, dirinya yang begitu kusayang.

Kamboja, kurengkuh bunga kuning itu. Dulu bunga ini selalu kujadikan hiasan dirambutnya. Masih terekam jelas, ia tiduran di bawah pohon ini.

“Kalau hujan disaat hari cerah, itu berarti aku menangis karena sedih,” ujarnya.

“Dasar gadis pemimpi! Itu fox rain, kamu bukan Gumiho di drama Korea My Girlfriend Is Gumiho itu, lagian, aku nggak mau punya pacar Gumiho, hiiiih,” kuacak-acak rambutnya. Tawa renyahnya menggema.

“Kalau gitu aku buat cerita lain,” dirinya menggumam tak jelas. “Kalau kamu merasakan angin, padahal sebelumnya tak ada angin, itu tandanya aku rindu padamu,” ia menoleh ke arahku.

“Kalau rindu, katakan saja, sms atau telpon aku, aku pasti langsung datang menemuimu,” ujarku.

“Andai aku bisa, pasti kulakukan,” tatapannya penuh arti. Entahlah, tiba-tiba perasaanku jadi tak enak.

Semua kenangan dengannya di tempat ini masih jelas kuingat. Kerinduan ini semakin menjadi-jadi. Membuat pedih kembali kurasa.

“Aku rindu,” ucapku membelah kesunyian.

Tubuh ini bergetar, tiba-tiba angin dingin datang membelaiku. Satu bunga kamboja terjatuh tepat diatas kepalaku.

“Aku merasakannya, rindumu tersampaikan padaku,” senyumku terukir. “Bahagialah di sana, tunggu aku datang menemuimu dan rasa pedih ini akan hilang,”

“Sayang yang tulus tak terikat dimensi ruang dan waktu, seperti sayang ini yang kan selalu mengalir untukmu meski alam kita tlah berbeda.”

Kamis,  10 Mei 2012
07:40 -  08:45

You May Also Like

2 comments

  1. cerita? bukan. puisi? wagu. apa ya? ini penuh kegalauan! :3

    ReplyDelete
  2. bukan puisi -____- puisi darimananyaaa, emang -__-

    ReplyDelete

mari berkicauuu...~